Bisnis Indonesia Minggu, Maret 2009.
“Ini bukan handphone biasa. Ini Smartphone!”
OK, deh! Jadi itu smart phone; bukan handphone. So what? Kalau fungsi yang sepele saja tidak bisa, smart-nya dari mana? Dari Hong Kong?
Saya tersenyum sendiri jika ingat betapa tinggi pembelaan konsumen fanatik iPhone terhadap produknya, waktu saya kritik, mengapa ada fungsi dasar yang tidak dikuasainya.Ini terjadi pada peluncuran awal iPhone generasi pertama.
Smart atau tidak, di mata kebanyakan orang, kategori produk ini masih jadi satu dengan sesama handphone. Keinginan iPhone untuk menciptakan kategori baru pada saat meluncurkan iPhone, menurut pendapat saya, tidak realistis. Pembandingnya masih tetap merek lain dengan fitur yang kurang lebih sama.
Ini sangat berbeda dengan pada saat Apple meluncurkan iPod. Produk yang satu ini memang sukses membentuk sebuah kategori produk baru yang perbedaannya dengan kategori produk sebelumnya cukup signifikan. Keberadaan iPod sebagai device untuk pencinta musik dengan gaya hidup mobile, langsung membuat definisi baru di industrinya.
iPod adalah contoh yang tepat untuk strategi blue ocean, di mana terjadi rekonstruksi nilai-nilai yang dilakukan oleh brand pada industrinya, dan memberikan sebuah tawaran produk yang ber beda dan breakthrough.
Fenomena blue ocean ini yang ingin diulang oleh iPhone. Namun, benarkah produk keluaran Apple ini masuk ke dalam blue ocean? Ataukah hanya sebagai pemain baru di dalam peperangan red ocean yang sudah terbentuk sebelumnya, di pasar handphone?
Apple dan AT&T Mobility berhasil menjual iPhone sebanyak 1 juta unit dalam waktu 74 hari peluncurannya (Juni – pertengahan September 2007). Ini sebenarnya pencapaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan peluncuran iPod yang khusus untuk musik. Pada saat peluncuran iPod, perlu waktu 2 tahun untuk menjual 1 juta unit produk ini. Memang, setelah itu, penjualan iPod meroket, di akhir tahun 2007 saja sudah terjual lebih dari 100 juta unit.
Cita-cita Steve Job, CEO Apple memang lumayan muluk. Pada pidato peluncuran iPhone di Macworld Expo Januari 2007, ia mengatakan bahwa iPhone bukanlah sekadar paduan antara handphone dengan iPod. Job bermaksud me-reinvent telephone. Intinya redefinisi ulang kategori mobile phone. Karena itu muncullah istilah ‘smartphone’.
Mengatakan bahwa produk baru yang bernama iPhone ini adalah smartphone dan bukan handphone tentu tidak berarti terjadi kesepakatan de ngan konsumennya. Tidak ada fitur-fitur yang luar biasa breakthrough waktu iPhone ini meluncur, kecuali hype yang dibuat gegap gempita oleh media dan sebagian brand ambassador Apple.
Kenyataan bahwa produk ini adalah adik dari iPod dan membawa serta segala glamour dan citra baiknya – tidaklah cukup untuk menempatkannya di sebuah samudra biru yang baru, tanpa pesaing. Hampir semua fitur yang ditawarkannya, telah tersedia di ponsel merek lain.
Sayangnya semua fitur yang ada di iPhone bisa diperoleh dari merek lain yang sudah lebih dulu ada di pasar. Great news-nya apa? Untuk bisa meredefinisi sebuah kategori tidak cukup dengan jaminan Apple brand saja.
Tetap saja, konsumen menunggu sebuah great news – fitur yang breakthrough.
Jika tidak, persaingan akan memasuki arena red ocean. Dan demikianlah halnya. Itu hasil pengamatan saya terhadap iPhone.
iPhone di Indonesia
Memang terlalu awal untuk justifikasi berhasil tidaknya pemasaran iPhone di Indonesia, tetapi tidak ada salahnya kita lakukan analisa dari apa yang telah dikerjakan oleh pemasarnya.
Masalah utamanya: Salah momentum. Pada saat hype yang terjadi di pasar global di mana di negara-negara lain konsumen sudah menunggu-nunggu hadirnya produk baru iPhone ini, di Indonesia malahan tidak tersedia. Di mana pasar dan target audience-nya baru saja bermanis-manis dengan BlackBerry dan euphoria social media facebook, iPhone baru melenggang masuk. Di mana produk lain sudah memberikan layar lebar, terobosan baru perangkat Internet mobile, layar sentuh, peta GPS, games dan fitur-fitur canggih lainnya.
Masalah kedua: Harga. Untuk masuk ke dalam pasar secara terlambat seperti yang dilakukan oleh iPhone di Indonesia ini, pertanyaan saya sederhana: Apa sih berita baiknya? Apa sih yang ditawarkannya yang tidak bisa dimiliki oleh brand alternatifnya? Rasanya semua fungsi utama yang ditawarkan oleh iPhone sudah dimiliki oleh handphone merek lain sekelasnya.
Karena masuk dalam pasar red ocean, maka harga menjadi penting.
Kalaupun bukan yang utama, tetapi masuk dalam proses menimbangnimbang sebelum mengikat dalam transaksi. iPhone tidak cukup hanya mengandalkan kebesaran brand Apple-nya saja.
Walaupun tidak secara eksplisit dikatakan dalam komunikasinya yang masih banyak mengekspose fungsi-fungsi, di balik itu ada sebuah pesan yang menggambarkan bahwa memiliki iPhone akan menjadikan seseorang menjadi “keren banget, cool, modern, gadget freak”. Pokoknya produk ini di mata konsumennya diharapkan mencapai sebuah sasaran pesan ‘gw banget deh!‘
Sayangnya, sasaran pencapaian emosional be nefit ini adakalanya masih dibarengi dengan rational benefit. Terutama bila sasaran segmennya dibuat lebih luas. Bukan hanya yang melihat brand Apple atau iPhone sebagai brand yang ‘oke banget’, tetapi juga menarik minat segmen-segmen yang ingin ikut nimbrung di dalam komunitas iPhone ini.
Untuk segmen yang saya sebut terakhir ini, masih tercampur rational benefit value for money dan emotional benefit yang dikejarnya. Kira-kira ekspresi target audience bisa saja seperti begini : Gw banget sih boleh aja, asal harga cocok…. Ini yang mungkin luput dari per hitung – an pemasar iPhone dan tentu saja rekan yang digandengnya yaitu Telkomsel di Indonesia. Kalau harganya paket dengan pulsa, dan mahal sekali, ya kemudian tidak heran banyak yang mengundurkan diri. Permisi…