Pidato SBY vs Level Ekspektasi
Amalia E. Maulana
Dimuat di Bisnis Indonesia Minggu 3 Desember 2009
Baca kalimat yang tertulis di status saya 24 November pada pukul 15.49 di facebook: “Mungkin karena saya dibesarkan di budaya Jawa, mungkin karena sy seorang ethnographer yg biasa menterjemahkan hal-hal yang tdk tampak di permukaan, mungkin krn itu sy nangkep kedalaman makna Sby’s talk- masalahnya apakah masyarakat yg udah ‘bosen’ nungguin keputusan Sby, dan Kapolri dan Jakgung itu nangkepnya sama dg sy”
Simak jawaban beberapa teman FB saya berikut ini:
“oh gitu ya mbak…sayang beliau itu presiden Indonesia…bukan presiden Jawa…hehe…”
“Kayaknya sulit bu kalau ratusan orang Indonesia diharapkan mengerti maksud ‘bahasa’ beliau. Yang paling memungkinkan adalah beliau berbicara dengan ‘bahasa’ orang Indonesia pada umumnya.”
“Kalo jadi pemimpin pake bhsnya ya yg dimengerti org banyak donggg, jangan hanya yg jawa or yg etnografer aja, para profesor dari dunia hukum aja msh pd bingung tuh? kdg kt hrs pake bhs sederhana ajalah..”
Mengapa saya sedikit lebih ‘santai’ dalam mencerna pidato tersebut malam itu, mungkin pada saat lelah menunggu, saya sudah menurunkan level ekspektasi saya beberapa tingkat. Saya bahkan sudah sampai ke level pesimis. Pada situasi pesimistis, ekspektasi rendah, pidato minimalis itu sudah cukup menjanjikan.
Berarti pada titik tersebut, saya tidak termasuk dalam kelompok terbesar audiens pada malam itu, yang sudah setting ‘mode’: Bebaskan Bibit-Chandra, Turunkan X,Y,Z, dan seterusnya. Itulah mungkin bedanya saya dengan banyak teman, pakar hukum, politik, dan masyarakat pada umumnya. Ekspektasi mereka bahwa SBY akan secara gamblang menjatuhkan putusan yang ‘bombastis’ masih tergantung tinggi.
Pakar komunikasi politik, Effendi Ghazali dan pembela kasus Bibit-Chandra, Alexander Lay, mengaku tidak langsung mengerti maksud pidato tersebut pada saat pertama mendengarnya. Mereka perlu mendengarnya beberapa kali untuk mencerna apa sebenarnya makna di balik kata-kata terselubung tersebut. Saya yakin mereka adalah masuk dalam segmen yang punya ekspektasi sangat tinggi terhadap peran SBY dalam kasus ini.
Oleh karena itu kekecewaan sangat terasa, pada saat performance pidato tidak sesuai dengan yang diharapkan. Yang menarik, Effendi Ghazali, sampai perlu membuat pidato tandingan (saya lebih menyukai istilah “extended version” saja, sebab basisnya sama).
“….Karena itu, sekarang saya sampaikan kepada kepolisian dan kejaksaan, bahwa sikap dan arahan saya selaku Presiden Republik Indonesia adalah: dalam satu kali dua puluh empat jam ke depan sudah bisa dinyatakan oleh kepolisian dan kejaksaan…….bahwa Saudara Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto bebas dari semua tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka, terutama karena tidak cukup bukti untuk melanjutkan proses hukum tersebut…. dst”
Ada tiga kata kunci di sini: (1) jelas time frame-nya (2) jelas siapa yang harus action, (3) jelas action apa yang harus dilakukan. Public vs consumer satisfaction Kalau negara ini bisa disamakan dengan perusahaan, berarti publik adalah analogi dari konsumen, yang di perusahaan selalu dipandang sebagai stakeholder paling sentral, yang perlu dijaga tingkat kepuasannya.
Rumus sederhana dari kepuasan pelanggan adalah: Satisfaction = f {Expectation (E), Performance (P)}. Satisfaction merupakan fungsi dari E dan P.
Jika P=E, pelanggan puas.
Jika P<E, pelanggan kecewa, dan
jika P>E, maka pelanggan sangat puas (delighted). I
ni artinya, secara gampangnya saja, perusahaan harus berusaha mendeliver performancenya at least sama dengan expectation yang ada di benak konsumennya. Yang sering terjadi, performance belum ditingkatkan tetapi ekspektasi sudah diangkat setinggi langit dalam komunikasi-komunikasinya.
Divisi pemasaran adakalanya tidak melakukan koordinasi dengan baik dengan divisi operasional yang berperan dalam delivery produk/jasa. Akhirnya, yang muncul hanyalah menunggu bom waktu, konsumen yang sudah terbentuk ekspektasi nya, harus menerima performance yang apa adanya. Tentu publik belum lupa dengan janji-janji kampanye SBY, atau dengan janji 100 hari berantas mafia peradilan. Jadi E yang ditekan ke atas, harus diimbangi dengan P yang memadai. Jika P nya justru lebih di bawah lagi, sudah barang tentu, bukan hanya kecewa, melainkan publik menjadi sangat kecewa (kebalikan dari delighted yang artinya sangat puas).
Dalam hal ini, dalam pemasaran, dikenal sebuah strategi yang dinamakan “Managing Expectation”, yaitu sebuah tindakan preemption yang secara sadar menurunkan ekspektasi dari pelanggan atau audience yang sedang digarap, jauh sebelum performance di-deliver. Dengan E yang dibuat rendah, maka performance yang sedikit di atas rata-rata saja sudah bisa membuat konsumen sangat senang. Istilah kerennya, “too good to be true”.
Pengalaman menjadi juri di berbagai acara memberikan pelajaran berharga perihal ‘Managing Expectation’ ini. Salah satu tindakan yang kurang strategis dari juri adalah tidak mengkomunikasikan kriteria penilaian pada peserta dengan transparan sejak awal. Setiap peserta kemudian akan mempunyai perhitungan sendiri terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ada pula juri yang secara informal sudah memberikan sinyal-sinyal tertentu yang membangun ekspektasi peserta. Ini kontra produktif dengan semangat ‘mengelola ekspektasi’ yang notabene adalah menekan ekspektasi. Pada saat nilai diumumkan, situasi semacam ini yang kemudian menuai protes.
Kembali ke pidato SBY bahwa pada akhirnya, ‘perintah-perintah bersayap’ yang disamarkan itu akhirnya dijalankan juga, publik sudah telanjur ‘cape deh’ menunggunya. Pada saat “performance” yang baik ini berlangsung, publik sudah tidak berada di arena lagi. Atau, sudah terjadi dissosiasi secara emosional antara publik dan pemimpinnya.
Pada masa keterbukaan seperti sekarang, brand harus terus berada di tengah audiens. Berdialog langsung, menjelaskan keberatan-keberatan yang diajukan oleh konsumennya. Salah satu caranya adalah dengan memiliki corporate atau brand blog. Kecepatan dalam merespon permasalahan konsumen adalah bentuk lain dari mengelola ekspektasi. Jika ini dikaitkan dengan situasi negara, rasanya yang perlu ditingkatkan adalah komunikasi langsung antara publik dan kepala negaranya.
Dengan banyaknya lapisan yang menjadi penghalang, komunikasinya bukan dua arah lagi, melainkan komunikasi melalui interpretasi. Interpretasi ahli-ahli yang berada di sekitar kepala negara belum tentu menggambarkan situasi konkret publik. Jika enggan muncul langsung, komunikasi masih bisa diciptakan via blog yang dikendalikan secara pribadi.
Status saya di FB: Menunggu Mode On.